Jakarta, CNN Indonesia —
Staf khusus menteri BUMN Arya Sinulingga menegaskan bahwa Erick Thohir tidak pernah meminta perusahaan-perusahaan pelat merah untuk memborong dolar AS di tengah konflik Iran-Israel.
Arya mengatakan bahwa yang dimaksud Erick adalah agar BUMN-BUMN dapat mengoptimalkan pembelian dolar AS. Ia mencontohkan, jika ada BUMN yang memiliki utang dan harus dibayar dengan dolar AS, maka perusahaan itu harus membeli dolar secara optimal.
“Harus optimalkan untuk saat pembayaran, dia tepat pembayarannya. Jadi bijak. Jadi bukan BUMN-BUMN disuruh borong dolar,” kata Arya melalui keterangan resmi, Jumat (19/4).
Erick sebelumnya meminta perusahaan pelat merah yang bergantung besar pada bahan baku impor dan memiliki porsi utang luar negeri (dalam dolar AS) dengan jumlah yang besar seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, dan MIND ID memborong dolar AS dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
Permintaan ia sampaikan demi meminimalisir dampak gejolak ekonomi dan geopolitik dunia imbas konflik antara Iran dengan Israel belakangan ini. Dampak terutama yang berkaitan dengan pelemahan rupiah hingga ke level Rp16 ribu beberapa hari belakangan ini.
“Serta melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat,” kata Erick dalam keterangan resmi yang dikeluarkan di Jakarta, Rabu (17/4).
Selain itu, Erick juga meminta BUMN yang memiliki utang luar negeri atau berencana menerbitkan instrumen dalam dolar AS untuk mengkaji opsi hedging untuk meminimalisasi dampak fluktuasi kurs.
“Seluruh BUMN diharapkan dapat waspada dan awas dengan memantau situasi saat ini, mengingat kemungkinan terjadi kenaikan tingkat suku bunga dalam waktu dekat,” katanya.
Erick juga mengatakan BUMN perlu melakukan peninjauan ulang terhadap biaya operasional belanja modal, utang yang akan jatuh tempo, rencana aksi korporasi, serta melakukan uji stres untuk melihat situasi terkini.
“Serta melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat,” tutur Erick.
Ia menilai situasi ekonomi dan geopolitik tersebut sudah dan akan berdampak terhadap Indonesia melalui foreign outflow dana investasi, yang diyakini dapat memicu melemahnya rupiah dan naiknya imbal hasil obligasi.
Selain itu, dampak ini juga akan berimbas pada semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan pangan karena gangguan rantai pasok.
“Dan akan menggerus neraca perdagangan Indonesia,” katanya lebih lanjut.
Erick meminta BUMN perbankan menjaga proporsional porsi kredit yang terdampak oleh volatilitas rupiah, suku bunga, dan harga minyak.
Selain itu, BUMN yang berorientasi pasar ekspor seperti pertambangan MIND ID, perkebunan PTPN bisa memanfaatkan tren kenaikan harga ini untuk memitigasi tergerusnya neraca perdagangan.
(mrh/agt)